Sudah dua menit lebih Niko menatapi dua angsa di atas kasur. Dua angsa itu dibentuk dari handuk yang dililit, sayapnya dari handuk yang lebih kecil dilipat rapi. Di atas kasur, di bawah angsa, ada tulisan ‘Happy Honeymoon’. Pada situasi yang tepat, ini adalah service yang istimewa dari sebuah resort mewah. Namun, Niko tidak bisa menahan rasa kesal, bercampur sedih, juga kecewa.
Dia melepaskan pegangan dari koper, lalu memencet telepon yang ada di kamarnya. Resepsionis mengangkat. Tanpa jeda, Niko berkata, ‘Saya sudah bilang di email kalau saya datang sendiri. Tidak dengan istri, uh, pasangan saya. Tolong jangan kasih saya ucapan happy honeymoon seperti ini.’
Resepsionis meminta maaf, lalu bertanya, ‘Berarti rencana romantic dinner di restoran kami nanti malam tidak jadi ya, Pak?’
Niko langsung menutup teleponnya, kesal.
Di bagian mana dari “datang sendiri” yang dia tidak paham?
Seharusnya tujuh hari ke depan menjadi bulan madunya yang istimewa, tapi Niko batal menikah dengan Alia. Tiket, vila, dan penerbangan sudah terlanjur dipesan. Kata sepupunya, ‘Lo dateng sendiri aja, nginep di sana, sekalian refreshing. Biar gak stres. Lo kan udah berapa hari ini sampai susah tidur.’ Dia mengikuti saran sepupunya itu. Saran yang salah, tampaknya. Datang ke tempat ini justru makin membuat dia ingat kepada Alia, karena seharusnya, di saat ini, di dalam vila, mereka sedang berpelukan.
Niko keluar dari vila.
Dia duduk di teras depan, memejamkan mata.
Resort ini cuma terdiri atas sembilan vila, di ujung terjauh sebuah pulau, di Utara Jakarta. Satu vila terdiri dari ruang tamu, dapur kecil, dan tempat tidur king size, dibungkus kelambu yang terikat rapi di atas ranjang. Lantai, dinding, semua terbuat dari kayu.
Di depan kamar tidur, langsung terlihat lautan, sejauh mata memandang, tanpa tepi. Kicau burung bergantian, saling tidak mau mengalah. Ini memang resort terbaik untuk berbulan madu, tetapi terburuk untuk orang yang gagal menikah.
Niko melamun, sambil memainkan jari, mengetuk-ngetukannya di pinggir bangku, kebiasaannya kalau sedang mati gaya. Jari kelingking di tangan kanan Niko hilang satu ruas, kecelakaan sewaktu kerja di pabrik alat berat. Mesin press mekanik meremukkan jarinya ketika dia membuat pelat besi. Sepertiga jari kelingkingnya harus dia relakan. Sepupunya bilang, ‘Keren, kaya Yakuza.’
Ketukan jarinya seolah menjadi musik yang mengiringi lamunan Niko melayang jauh ke rumahnya. Ke Playstation 5 yang ada di kamarnya. Ke video games yang dia suka. Permainan yang sering jadi pemicu ribut dia dengan Alia, semasa pacaran.
Contoh: ketika sedang bermain Hot Wheels Unleashed, Alia masuk ke dalam kamarnya, meneriaki dia, ‘Udah gede masih aja mainan buat bocah gini.’
‘Tapi ini hobi aku.’
‘Cari hobi yang kita bisa bareng, dong,’ kata Alia. Tapi memang mereka berdua tidak punya hobi yang sama. Alia protes atas hobi Niko menonton anime (Apothecary Diaries kayak tontonan cewek), koleksi Funko Pop (kepalanya kegedean), atau menangkap Pokemon di handphone (mending pelihara hewan beneran).
Kata-kata Alia yang paling menyakitkan, ‘Laki-laki di atas 30 tahun tidak terlihat menarik memainkan hal-hal seperti ini.’ Niko tidak setuju, tapi Alia, terlalu keras untuk dibantah. Dulu dia tidak begini. Dulu dia mengerti. Dulu mereka cocok.
Seorang karyawan hotel memotong lamunan Niko. Dia membawakan cheese cake dengan taburan cokelat di atasnya. ‘Pak Niko, ini untuk cemilan di kamar, sekaligus permintaan maaf kami atas miskomunikasi yang terjadi.’
‘Gak masalah, Mas,’ kata Niko. ‘Terima kasih.’
Senja mulai terlihat di ujung laut. Langit berwarna oranye, secara bertahap warnanya hilang di antara awan yang muram.
Karyawan hotel melihat Niko yang memandangi langit, dia berkata, ‘Kalau malam langitnya cantik sekali, Pak. Kita bisa melihat ribuan bintang.’
‘Oh ya?’
Karyawan hotel itu mengangguk. ‘Enak sambil jalan-jalan malam, ngelihat bintang, ngelamun, mencari ketenangan. Gak bisa ngerasain itu di kota, Pak.’
Niko mengangguk.
Karyawan hotel itu lalu permisi pergi.
Gangguan lamunan Niko berikutnya datang dari bunyi drone yang melintas di atas kepalanya. Seseorang dengan logo barang mewah dari atas kepala sampai kaki menghampiri dia. Niko mengenalinya sebagai seorang Youtuber yang videonya sering masuk beranda. Youtuber yang videonya sering dia skip.
Youtuber itu berkata kepada Niko, ‘Bro, maaf ya, kalau drone-nya ganggu. Gue pastiin lo gak kerekam, kok.’
‘Oh iya, gak masalah.’
Menahan malu, Niko mengajak Youtuber tersebut berfoto. Niko bilang dia mau mengirimkannya kepada saudaranya yang menggemari Youtuber tersebut. Setelah berfoto, mencoba mengirimkannya ke grup Whatsapp keluarga (gagal karena susah sinyal), mereka berdua basa-basi ringan.
‘Liburan juga ke sini?’ tanya Niko.
‘Enggak juga sih. Gue abis bikin penelusuran misteri di deket sini.’ Si Youtuber lalu nyengir lebar. ‘Tapi gosipnya salah. Gue gak dapet apa-apa.’
‘Gosip apa?’
‘Oh, lo gak tau?’
Niko menggelengkan kepalanya.
Si Youtuber mendekat ke arah Niko, setengah berbisik, dia bilang, ‘Di dekat sini ada Hutan Menangis.’
‘Hutan Menangis? Apa itu?’
‘Kalau kita keluar dari resort, jalan sekitar 15 menit, di sebelah kiri ada area masuk menuju sebuah hutan, isinya pohon pinus. Pas naik kapal ke sini pasti lo ngeh.’
Niko mengangguk. Dia ngeh.
‘Orang-orang menamai ini Hutan Menangis. Seperti namanya, di hutan ini kalau malam, sering terdengar suara tangis. Tapi, hutan ini cuma ngeluarin suara kalau yang dateng juga lagi sedih. Mitosnya keren ya, Bro.’
‘Udah ke sana?’
‘Udah, tapi gak ada apa-apa. Cuma jangkrik doang.’
‘Mungkin lo kurang sedih,’ kata Niko.
‘Kurang sedih apa gue sama dua kru gue gak dapet konten sama sekali.’ Si Youtuber tertawa kencang. ‘Kameramen gue sampai nonton drakor biar nangis. Beneran kami nangis. Tapi gak ada apa-apa.’
Niko hendak bilang, nangis karena nonton film pasti beda rasanya dari nangis karena ada gumpalan besar di dada, seperti yang Niko rasakan saat ini. Tapi Niko mengurungkan diri untuk berargumen. Niko juga ingin bilang dia tidak pernah percaya hantu, pasti ada penjelasan logis atas semua kejadian supranatural yang kita alami. Itu juga dia urungkan untuk ucapkan. Niko malah berkata, ‘Good luck buat lain waktu.’
Youtuber itu lalu permisi pergi.
*
Seharusnya semua orang tahu susahnya tidur sambil menahan rindu. Seperti yang Niko rasakan. Persoalannya, ini rindu kepada orang yang tidak bisa dia gapai. Rindu kepada Alia. Rindu yang seharusnya dia sudah bisa cuci bersih. Namun, mau bagaimana, jika cintanya masih lengket?
Cinta memang lebih berbahaya daripada narkoba. Terutama cinta yang tidak berbalas. Bukan, bukan cinta yang tidak berbalas. Cinta yang dulu pernah ada, lalu pergi sepihak. Dengan orang lain.
Perselingkuhan paling sering terjadi di tempat kerja, itu yang sering Niko dengar.
Namun Niko tidak menyangka, itu pula yang dia alami.
Seharusnya dia curiga, kenapa ada telepon malam-malam dari rekan kantor Alia. Padahal, mereka sedang duduk berdua mendengarkan playlist lagu band indie Korea di Spotify. ‘Urusan kerjaan,’ kata Alia, bergegas keluar ruangan sambil membawa handphone. Suara obrolan dan tawa Alia seolah bersaing dengan lagu dari OKDAL, grup duo Korea, yang Niko dengarkan.
Niko pernah dikenalkan kepada laki-laki ini, pada sebuah malam Jumat. Selepas acara makan malam kantor, Niko menjemput Alia. Laki-laki ini yang mengantarkan Alia sampai ke depan restoran.
‘Hai, Niko,’ kata laki-laki itu, ramah. Pembawaannya luwes, rahangnya tegas, dan bibirnya agak lebih besar di bagian bawah. Ada bekas luka di pelipis kanan.
Niko menjawab seadanya, ‘Hai.’
‘Hati-hati di jalan,’ kata laki-laki itu, seiring Alia menaiki Toyota Corolla milik Niko.
Ketika mengingat itu kembali, Niko tidak bisa berhenti berpikir, kenapa dia begitu naif. Mana ada laki-laki dewasa berumur 34 tahun yang tidak bisa membaca tanda bahaya seperti ini?
Laki-laki ini akhirnya menjadi kerikil di tengah perjalanannya menikahi Alia. Setelah lamaran, sebelum pernikahan, Alia berkata, ‘Aku tidak bisa sama kamu. Kita tidak cocok.’ Niko merajuk, ‘Aku bisa berubah, aku buang semua games itu.’ Alia berkata, ‘Aku udah ada orang lain. Aku udah buat salah sama kamu.’ Niko masih merajuk, ‘Aku bisa lupakan itu semua. Asal kamu lupakan dia, asal kamu sama aku. Asal kamu tetap mau menikah sama aku.’ Alia lalu mengeluarkan kalimat itu, ‘Aku mau menikah, asal bukan sama kamu.’
Malam itu, kata-kata Alia terasa seperti sebuah belati.
Menusuk panjang masuk ke dada Niko. Mencabiknya tanpa ampun.
Tidak bisa tidur, Niko pergi keluar vila. Dia berjalan mengarungi jalan setapak. Perlahan, mengikuti lampu remang di sepanjang jalan, tanpa arah. Dia mengambil handphone-nya. Mencoba mencari sinyal, mencari hiburan, apa pun yang bisa membuat dia melupakan Alia. Apa pun yang membuat dia berhenti susah tidur.
Niko berjalan keluar sampai ujung gerbang resort.
Dia lalu berjalan lagi, dan lagi.
Hingga hanya bulan yang menerangi jalan.
Berjalan cukup lama, Niko mulai merasa hilang arah. Sepi. Hanya bunyi jangkrik, melengking nyaring bergantian. Semak-semak mengelilingi Niko. Siluet pohon-pohon pinus terlihat begitu tinggi. Begitu megah. Sebuah bunyi menyelinap masuk di telinganya. Ada sesuatu yang bergerak cepat di antara semak-semak.
Niko memperhatikan semak-semak, mencoba menebak sumber bunyi itu. Di sela daun, Niko melihat siluet manusia. Dia jongkok. Bungkuk. Hitam. Kurus. Ada suara kecil yang keluar dari sosok tersebut. Niko mendengarkan baik-baik.
Suara tangisan. Lirih. Pelan, tanpa putus. Huuu. Huuu. Huuu.
‘Halo?’ tanya Niko. ‘Siapa itu?’
Dijawab dengan: Huuu. Huuuu.
Niko menyalakan senter dari handphone-nya. Melihat cahaya, sosok itu lari kencang, masuk ke dalam hutan. Niko mengejarnya, tapi dia berhenti ketika dia tidak bisa melihat apa pun lagi. Senter tidak membantu sama sekali.
Seketika, suara tangis bersahut-sahutan dari dalam hutan. Huuuu. Huuuu. Huuuu. Ada yang pelan, ada yang kencang, ada yang melengking. Semuanya membentuk kor tangisan yang mengganggu. Lalu, tiba-tiba, suara tersebut berhenti.
Suara jangkrik kembali terdengar.
Keringat dingin mengucur deras di pelipis Niko. Dia masih mencoba memahami apa yang terjadi. Hewankah itu? Imajinasi? Hasil dari depresi?
Tidak menemukan jawaban apa pun,
Niko melangkahkan kaki kembali ke villa.
Tanpa dia tahu, di arah sebaliknya dari hutan, dari kejauhan, seorang nenek memperhatikan semua kejadian itu dari balik jendela. Matanya tajam. Senyumnya mengembang.
*
Nenek itu menghampiri Niko di pagi hari, ketika sarapan disajikan di restoran resort. Niko, lagi-lagi tengah melamun, masih membayangkan apa yang terjadi tadi malam bercampur dengan rasa rindunya pada Alia. Masih.
‘Kamu susah tidur?’ tanya si Nenek.
‘Maaf?’ tanya Niko, bingung kenapa ada nenek-nenek tiba-tiba menyapanya di tempat seperti ini. Nenek itu berpakaian lusuh, rambut putihnya berantakan.
‘Tadi malam, saya lihat kamu dekat rumah saya.’
‘Rumah?’
‘Rumah saya, dekat hutan.’
Sekilas, Niko ingat ada rumah kecil di tepi jalan setapak. ‘Oh iya, lagi jalan-jalan. Susah tidur.’
‘Saya punya obat.’
‘Obat apa?’
‘Obat susah tidur.’ Si nenek melihat tajam ke mata Niko. ‘Obat hati. Obat terbaik.’
Niko tahu ramuan-ramuan tradisional banyak yang berkhasiat, tetapi dia tidak menyangka di pulau ini ada layanan seperti ini. Niko hendak bertanya tentang suara dan makhluk hitam yang dia lihat kemarin malam, tapi niat itu dia urungkan. Dia sudah google tadi, kurang tidur bisa membuat orang berhalusinasi. Youtuber itu pasti menanamkan sugesti di kepalanya.
Nenek itu bertanya, ‘Bagaimana?’
‘Coba saya pikirkan, ya,’ kata Niko.
‘Datang nanti malam. Gratis. Bayarnya nanti, ketika semua sudah selesai,’ kata si Nenek. Niko mengangguk.
Nenek itu permisi pergi.
Niko memanggil karyawan hotel yang kemarin mampir ke kamarnya. Dia menghampiri Niko, memberikan senyuman paling lebar. ‘Ada yang bisa dibantu, Pak?’
‘Youtuber yang kemarin mana, ya?’
‘Sudah check out, Pak. Pagi-pagi sekali dia berangkat ke dermaga.’
Niko mengangguk. ‘Tadi ada nenek ngajak ngobrol, itu siapa?’
‘Kami memanggil dia Nenek aja, Pak. Gak ada yang tahu namanya siapa. Tapi dia sering ke sini bawain sayur-sayuran yang dia tanam, fresh. Tomatnya sering dipuji tamu.’
‘Dia petani?’
‘Kecil-kecilan, Pak. Kata orang sih, dulunya dia tabib.’
‘Tabib?’
‘Iya, waktu desa di ujung hutan masih ramai penduduk. Dia tabib di sana.’
Karyawan hotel itu lalu mengisi ulang kopi di cangkir Niko. Sembari mengunyah omelet di depannya, Niko berpikir. Dia memang sudah putus asa mencari cara agar bisa mudah tidur kembali. Susah memang, setiap kali memejamkan mata, hanya ada wajah Alia di balik kelopak matanya.
Niko tidak berani minum obat tidur.
Dia pernah membaca berita seorang penulis terkenal di Amerika yang kecanduan obat tidur dan harus dibuat koma agar lepas dari ketergantungan.
Obat herbal menjadi masuk akal di kepala Niko.
‘Nenek itu orang baik?’ tanya Niko.
‘Baik? Tentu saja, Pak,’ kata si karyawan hotel. ‘Tidak ada alasan untuk jadi jahat di pulau ini.’
‘Saya bisa percaya dia?’ tanya Niko.
‘Bapak bisa percaya siapa pun yang Bapak mau.’
*
Malamnya, Niko kembali susah tidur. Berkali-kali dia membolak-balikkan badannya di atas kasur. Pikirannya masih penuh dengan Alia. Seharusnya ada peringatan dari pemerintah bahwa pacaran di atas sepuluh tahun itu terlalu lama, efek buruknya jadi seperti ini: susah lepas. Teman Alia adalah teman dia juga. Tempat favorit dia, adalah tempat favorit Alia juga. Bagaimana coba caranya lepas dari patah hati dengan seseorang yang sudah selama itu mengisi hidup kita?
Niko memandangi langit-langit kamar. Tidur hanya sejam, dua jam, setiap harinya,
Tidak bisa. Ini harus berakhir, pikir Niko.
Keinginan ini yang membawa Niko ke depan rumah tua itu. Bulan terlihat separuh di langit malam. Bintang bertaburan. Niko mengetuk pintu rumah si nenek. Seolah-olah kehadirannya sudah ditunggu, pintu langsung terbuka.
Nenek itu mempersilakan Niko masuk.
Niko melihat ke seluruh penjuru ruang. Bau lembap tercium. Beberapa sarang laba-laba menempel di pojokan. Sebenarnya, rumah kecil ini lebih tepat disebut gubuk. Bangunannya agak naik sedikit dari tanah, lantainya penuh dengan kayu lapuk. Anehnya, interiornya lebih bagus daripada penampakan luarnya.
Di tengah gubuk ada dipan yang terbuat dari bambu. Panjangnya sekitar 190 sentimeter. Dipan sederhana, tanpa kayu pembatas di ujungnya. Si Nenek menunjuk dipan tersebut. Bingung, Niko mencoba untuk memahami apa yang Nenek ini ingin dia lakukan.
‘Duduk?’ tanya Niko.
‘Tidur,’ kata si nenek, jarinya tetap ke arah dipan.
‘Ginjal saya tidak akan dijual, kan?’ tanya Niko, mencoba mencairkan suasana. Nenek itu tidak berkata apa-apa, mungkin tidak mengerti humor.
Mata Niko kembali melihat ke seluruh penjuru ruangan. Ada berbagai macam sayuran di sana, hasil tanam si nenek. Sebuah tomat busuk tergeletak di dekat pintu belakang. Beberapa akar pohon ditaruh di dalam sebuah tabung, berisi air cokelat.
Nenek itu mengulangi perkataannya. ‘Tidur.’
Niko beranjak ke arah dipan. Dia tiduran di atasnya. Dia melihat langit-langit. Ada sarang laba-laba dengan nyamuk terperangkap di sisi kirinya. Tidak bisa lepas.
‘Tutup mata,’ kata si Nenek.
Niko menurut.
Nenek itu mendekati Niko yang sudah berbaring. Dia lalu mengulurkan tangannya, lalu menempelkan jempolnya di kelopak mata kanan Niko. Lalu telunjuknya di kelopak mata kiri.
Dia berkata, sambil menekan pelan kedua jarinya, ‘Tidur.’
Seperti tersihir, satu kata itu membuat Niko terlelap.
Di balik kelopak matanya, Niko bisa melihat warna-warna bermunculan. Pertama-tama merah, biru, hijau, menari-nari, saling bertaut. Menggumpal. Membentuk objek-objek, berubah menjadi rumput yang jauh terbentang. Awan-awan paling biru yang pernah dia lihat.
Niko melihat, di tengah padang rumput yang luas itu, ada Alia. Berdiri dengan dua tangan terbuka, memakai gaun merah jambu. Rambut ikal menutupi sebagian kedua telinganya. Ini Alia yang dulu. Alia yang masih mencintai dia. Alia yang membuat dia jatuh cinta, berkali-kali. Betapa Niko merindukan dia.
Niko melayang ke arah Alia, memeluknya erat. Di tengah pelukannya, Niko menyadari dia adalah penguasa dunia ini. Dengan imajinasinya, Niko membangun istana indah. Kuda-kuda sembrani terbang dari balik awan. Dada Niko lalu terbuka, keluar notasi-notasi lagu-lagu cinta. Dia bisa melihat rangkaian nada hanyut terbawa angin. Sebuah not dia petik di udara, lalu dia sematkan di kuping Alia. Niko berkata, ‘Aku sayang kamu.’ Alia menjawab, ‘Aku lebih sayang kamu.’
Lalu Niko terbangun.
Keringat dingin mengalir di sekujur tubuh Niko. Dia melihat ke arah luar, sudah pagi. Niko berkata kepada si Nenek, ‘Apa itu barusan?’
‘Mimpi yang paling indah,’ kata si Nenek. ‘Obat semua penyakit hati.’
*
Sesampainya di resort, Niko langsung sarapan di restoran. Dia makan roti croissant cokelat, susu hangat, dan satu buah jeruk. Ketika dia sedang membuka kulit jeruk, satu kuku jarinya lepas. Dia bergegas pergi ke kamar mandi. Darah mengalir dari jarinya, anehnya, tidak terasa sakit. Dia lalu membalutnya dengan tisu.
Melihat cermin di kamar mandi, Niko menyadari hal yang janggal. Dengan mata kanan dan kiri bergantian buka-tutup, dia menyadari, di atas kedua kelopak matanya ada titik hitam, bulat sempurna. Niko berpikir, ini pasti bekas jari si Nenek tadi malam. Dia mencoba menghapusnya, tetapi titik itu tidak kunjung hilang. Dia lalu mengabaikannya.
Niko menghabiskan harinya dengan melamun di teras vila. Rasa rindunya kepada Alia masih ada. Namun, dia merindukan Alia yang tadi malam, bukan Alia yang ada di dunia ini. Dia tidak sabar menunggu matahari tenggelam. Bukan untuk tidur, tapi untuk kabur. Kembali ke dunia dalam kepalanya.
Betul, malamnya, Niko datang kembali ke rumah Nenek. Sama seperti sebelumnya, dia tiduran di atas dipan bambu itu. Dua jari si nenek menempel di atas kelopak mata Niko. ‘Tidur,’ kata si nenek. Kali ini, Niko kembali ke masa kecilnya.
Ini tahun 1997, masa Niko masih tinggal di sebuah rumah bergaya Belanda di pinggir jalan besar. Rumah dia, ketika ayah dan ibunya masih ada.
Di tangan Niko ada buku iuran televisi. Tidak seperti sekarang, dulu untuk memiliki televisi, kita harus rutin membayar iuran. Sebagai pemilik TV berwarna, di atas 19 inci, keluarga Niko harus membayar 6.000 rupiah setiap bulan. Dia memberikan buku itu kepada ayahnya. Di dunia nyata, di momen inilah ayahnya mendadak, tanpa peringatan, terkena serangan jantung. Meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Namun, di mimpi ini, ayahnya selamat. Buku iuran TV diterima dengan baik oleh ayahnya, lalu disimpan di laci dekat tempat tidur. Ayahnya terus hidup, selalu ada di tiap langkah Niko. Hingga dia dewasa, hingga dia wisuda. Ibunya, yang di dunia nyata terkena kanker payudara di tengah Niko mengerjakan skripsi, di sini juga ikut selamat. Dia sehat. Dia masih hidup.
Mereka berempat, bersama Alia, makan di sebuah meja panjang. Tertawa di meja makan. Saling bercanda, saling bercerita anekdot-anekdot lucu. Seperti Alia yang bercerita saat dia dan Niko pernah makan di mall dan mereka keluar restoran, lalu mereka dikejar tiga orang pelayan karena Niko lupa membayar bill-nya. Cerita-cerita konyol silih berganti bertukar di meja itu.
Ketika mengunyah es merah delima, ayahnya berbisik kepada Niko, ‘Dia perempuan terbaik untuk kamu, Nak.’ Niko menjawab, ‘Aku tahu, Ayah.’
Niko terbangun.
Niko kembali ke vila.
Di cermin kamar, ketika selesai mandi, Niko merasa lingkaran hitam di kedua kelopak matanya itu membesar. Kali ini warna hitamnya mulai menyebar hingga hampir mengenai alis. Niko mencoba menghapusnya dengan sabun. Menggosoknya sampai kulit sekelilingnya merah. Percuma, noda itu tetap ada. Terasa membesar setiap detiknya. Entah betul, entah hanya perasaan Niko saja.
Selesai mencukur jenggotnya yang mulai panjang, Niko berjalan dari vila, ke arah lobi resort, ke meja resepsionis. Dia meminta untuk memperpanjang masa menginapnya di sana.
‘Tambah berapa hari, Pak?’ tanya si resepsionis.
‘Tiga hari lagi dulu, ya,’ kata Niko.
Si resepsionis memandangi wajah Niko, dalam. Dia lalu bertanya, ‘Bagaimana sejauh ini pengalaman Bapak?’
‘Baik, baik sekali. Sangat baik, bahkan.’
‘Kami sangat bersyukur,’ kata si resepsionis. Dia tersenyum lebar. ‘Selamat bersenang-senang, Pak.’
Niko mengangguk.
Tidak sabar menunggu malam, kali ini sore-sore Niko sudah pergi ke rumah Nenek. Ketukan pintunya tidak dijawab. Frustrasi, dia menunggu di teras depan. Menjelang malam, si Nenek baru datang dari arah hutan.
‘Kamu menunggu dari tadi?’
‘Iya,’ kata Niko. ‘Aku harus tidur. Sekarang.’
Nenek itu mempersilakannya masuk.
Niko masuk kembali ke alam mimpinya. Setiap kali dia masuk ke sana, semakin indah mimpinya. Semua yang dia inginkan, hadir saat itu juga. Semua yang tidak sempurna, menjadi sempurna kembali di sana. Keluarganya, hubungannya. Jari kelingking Niko yang putus, bahkan tumbuh kembali di sana.
Malam berikutnya, dengan imajinasinya, Niko membuat sebuah pantai, penuh dengan makanan enak di atas piring melayang di mana-mana. Pohon berisi makanan enak, tumbuh menjalar di semua sudut pantai itu. Kita Murasaki Uni, landak laut langka, yang satu kotak di dunia nyata harganya 7 juta rupiah, tumbuh subur di atas pohon. Begitu pun Beluga Caviar, Matsusaka Wagyu (medium rare, tentu saja), dan makanan-makanan tidak masuk akal lainnya.
Dia makan hingga kenyang,
bersuap-suapan dengan Alia.
Malam berikutnya, Niko sudah punya anak, dia namakan Colde Wijaya, dari seorang musisi Korea yang dia sukai. Niko bermain dengan dia. Niko membesarkannya dengan baik. Niko bermain lempar bola, Niko bermain Playstation 5 dengan anaknya sampai mereka kehabisan permainan. Di sini, Alia tidak marah.
Malam berikutnya menjadi malam berikutnya lagi,
Menjadi malam berikutnya, menjadi malam berikutnya,
Menjadi malam berikutnya.
Niko tidak pernah sebahagia itu.
Niko tidak ingin ini semua berakhir.
*
Di atas kasur kamar vila, Andre melihat handuk yang digulung, dibentuk menjadi seekor gajah, di bawahnya ada kertas bertuliskan ‘Welcome.’ Andre melepas koper di tangannya. Dia duduk di tepi kasur, melihat ke arah sekitar. Vila ini tampak normal, pikirnya.
Vila ini seharusnya menjadi tempat sepupunya berbulan madu dengan istrinya. Kasihan Niko, pikir Andre. Dia menyalahkan dirinya karena telah mendorong Niko untuk tetap pergi ke resort ini. Sekarang Niko menghilang, tanpa ada yang mengetahui keberadaannya.
Andre seorang bapak dengan dua anak, tapi dia masih bisa menangis beberapa hari ini, merindukan sepupunya, yang juga teman baik dari kecil dulu. Ia ingin sepupunya datang kembali, menggendong anak-anaknya, membelikan mereka mainan. Seperti yang biasa dia lakukan setiap weekend.
Sepengetahuan Andre, resort ini adalah tempat terakhir yang dikunjungi Niko. Andre masih berkomunikasi dengan Niko sebelum dia menaiki kapal ke sini. Menurut pihak hotel, Niko sudah pulang lama. Sayang, hotel semewah ini tidak ada CCTV (untuk privasi tamu, kata mereka), jadi Andre tidak bisa memastikan hari apa, dan jam berapa Niko pulang.
Ada yang berteori Niko pergi ke sebuah kota, memulai hidup baru, semenjak patah hatinya dengan Alia. Ini semakin memicu rasa bersalah Andre, karena pemicunya pasti setelah dari resort ini. Dia pasti stres sendirian di sini.
Kedatangan Andre ke resort ini adalah usaha mencari Niko. Siapa tahu pihak hotel salah lihat atau mengerti, atau kerja sama dengan Niko, karena Niko memutuskan punya hidup baru di dalam hutan pinus di dekat sini, menjadi penyendiri. Andre sempat mencari tahu, memang ada rumah-rumah kosong di tengah hutan pinus itu, karena dulu ada sebuah desa di sana. Bekas sebuah kehidupan, yang suatu waktu warganya hilang secara tiba-tiba, tidak ada yang tahu kenapa.
Andre juga tahu, ketika malam ada mitos soal suara tangis yang keluar dari dalam hutan, meskipun tidak pernah ada yang benar-benar mengalaminya. Andre sekalian ingin membuktikan mitos tersebut.
Maka, ketika malam hari tiba, Andre pergi keluar resort, mencari hutan itu. Andre berjalan, dan berjalan, mengikuti arah lampu di pinggir jalan setapak. Sampai akhirnya lampu itu makin lama makin redup.
Saat Andre ada di bagian paling gelap di pulau,
bunyi itu datang, dari sebuah semak.
Huuu. Huuu. Huuu. Andre memicingkan mata. Siluet itu terlihat. Sebesar manusia. Jongkok. Badan bungkuk. Andre mendekatinya, perlahan. Dibantu penerangan dari bulan purnama yang sedang cantik-cantiknya, Andre melihat sosok itu, jelas.
Mulutnya terbuka.
Matanya tertutup.
Jari-jarinya hitam pekat,
rata sampai ke lengan, tubuh, hingga ke wajah.
Semuanya hitam.
Warnanya lebih gelap dari mimpi buruk.
Wajah makhluk ini meringis, menahan sakit. Air matanya mengalir. Tangannya memeluk dirinya sendiri, erat. Sekilas, makhluk ini terasa seperti kebalikan dari semua hal yang baik. Ada udara yang berat di sekitarnya. Andre tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Melihat Andre yang mendekat, makhluk itu bergegas lari ke arah mulut hutan.
Andre mengikutinya. Lalu, terdengar suara tangis bersahut-sahutan. Semakin lama semakin kencang. Andre sampai tidak bisa menghitung ada berapa makhluk yang ada di dalam semak, di dalam hutan, di sekitarnya. Suaranya begitu kencang.
Lalu tiba-tiba, berhenti.
Hening.
Andre melangkahkan kakinya. Di bawah sinar bulan, terlihat ada satu makhluk yang tersisa, dia memandangi Andre. Menangis kecil. Matanya bulat, membesar seiring dengan kedatangan Andre.
Andre mendekatinya pelan. Huuu. Huuu.
Andre mengarahkan senter handphone-nya ke makhluk tersebut.
Dia melihat, meski sekilas, jari kelingkingnya,
Hilang satu ruas.